PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN
SAVI UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIK
SERTA KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari
Persyaratan
Menempuh Gelar Magister Pendidikan
Matematika
Oleh:
HAERUDIN
Nim. 12102028
PROGRAM STUDI MAGISTER (S2)
PENDIDIKAN MATEMATIKA
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN (STKIP) SILIWANGI BANDUNG
2014
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Penalaran
Matematik
Penalaran
adalah proses atau aktivitas berfikir dalam menarik kesimpulan atau membuat
pernyataan baru yang benar berdasarkan pada pernyataan yang telah dibuktikan
kebenaranya. Keraf (Sumarmo, 2012: 16) mendefiisikan istilah penalaran serupa
dengan penalaran proporsional atau penalaran logis dalam tes. Sedangkan Lengeot
(Sumarmo, 2012: 16) berpendapat bahwa penalaran sebagai proses berpikir yang
memuat kegiatan menarik kesimpulan berdasarkan data dan peristiwa yang ada. Hal
senada juga diungkapkan Shurter dan Pierce (Sumarmo, 2012: 16) yang telah
mendefinisikan penalaran sebagai proses memperoleh kesimpulan logis berdasarkan
data dan sumber yang relevan. Sumarmo (2013 148) menegaskan pula bahwa
penalaran merupakan proses berpikir dalam proses penarikan kesimpulan.
Sumarmo
(2013) mengatakan bahwa penalaran merupakan proses berpikir menarik kesimpulan.
Kemampuan penalaran berlangsung ketika seorang berpikir tentang suatu masalah
atau menyelesaikan masalah. Ini dapat ditafsirkan bahwa saat seorang siswa
merenung (intelektual) tentang suatu hal atau masalah dalam matematika kemudian
dia berpikir untuk mencari solusinya maka sesungguhnya telah terjadi proses
bernalar.
Secara
garis besar terdapat dua jenis penalaran yaitu penalaran induktif yang juga
dikenal dengan induksi dan penalaran deduktif yang juga bisa disebut deduksi.
Sumarmo (2013: 148) mengatakan bahwa penarikan kesimpulan yang berdasarkan
sejumlah kasus atau contoh terbatas disebut induksi. Sedangkan penarikan
kesimpulan berdasarkan aturan yang disepakati dinamakan deduksi.
Sumarmo
(2013: 148) menjelaskan pula bahwa
penalaran induktif adalah penalaran yang berdasarkan contoh-contoh
terbatas yang teramati. Beberapa penalaran induktif diantaranya: penalaran
analogi, generalisasi, estimasi atau memperkirakan jawaban dan proses solusi,
dan menyusun konjektur. Penalaran induktif di atas dapat digolongkan pada
berpikir matematik tingkat rendah atau tingkat tinggi tergantung pada
kekomplekan situasi yang terlibat.
Sedangkan
penalaran deduktif adalah penalaran yang didasarkan pada aturan yang
disepakati. Beberapa penalaran yang tergolong deduktif diantaranya: melakukan
operasi hitung, menarik kesimpulan logis, memberi penjelasan terhadap model,
fakta, sifat, hbungan atau pola, mengajukan lawan contoh, mengikuti aturan
inferensi, memeriksa validitas argumen, membuktikan, dan menyusun argumen yang
valid, merumuskan definisi dan menyusun pembuktian langsung, pembuktian tak
lansung dan pembuktian dengan induksi matematika.
Penalaran
induktif melibatkan persepsi tentang keteraturan. Dalam matematika, mendapatkan
kesamaan tersebut dapat menjadi dasar dalam rangka pembentukan konsep, yaitu
dengan cara mengurangi hal-hal yang harus diingat. Proses tersebut dinamakan
abstraksi konsep.
Priatna
(Yuliani, 2011) mengungkapkan bahwa penalaran induktif memainkan peran penting
dalam pengembangan dan penerapan matematika. Sebagai fakta, penemuan matematika
ada yang berawal dari suatu penarikan kesimpulan dengan menerapkan panalaran
induktif. Kesimpulan yang ditarik secara induktif tidak selalu dapat dibuktikan
secara deduktif. Kesimpulan demikian dinamakan suatu konjektur. Konjektur
adalah suatu tebakan, penyimpulan, teori, atau dugaan yang didasarkan pada
fakta yang tak tertentu atau tak lengkap.
Analogi
dapat diartikan membandingkan sesuatu dengan sesuatu lainnya. Penalaran analogi
bermakna proses penarikan kesimpulan dengan membandingkan dua hal yang berbeda
berdasarkan keserupaan sifat atau konsep yang ada. Hal ini diperkuat Shurter
dan pierce (Sumarmo, 1987) mendefinisikan bahwa analogi adalah penalaran yang
dari satu hal tertentu terhadap sat hal lain yang serupa kemudian menyimpulkan
apa yang benar untuk satu hal juga dan akan benar untuk hal lain.
Yuliani (2011) mengemukakan bahwa penalaran
analogi adalah kita menarik kesimpulan tentang suatu hal berdasarkan kesamaan
yang ada dalam pengetahuan dan pemahaman kita. Hal senada diungkapkan Alamsyah
(Yuliani, 2011) bahwa pada analogi terdapat dua hal yang berlainan, yang satu
bukan yang lain, dan dua hal yang berlainan itu dibandingkan yang satu dengan
yang lain.
Sifat
atau konsep yang serupa pada penalaran analogi dapat berupa penggunaan rumus
atau cara yang sama untuk dua hal yang berbeda. Sebagai contoh bila kita ingin
menghitung panjang garis singgung luar lingkaran terhadap dua lingkaran dapat
dipergunakan konsep Pythagoras. Begitu
pula ketika hendak menghitung panjang satu sisi segitiga siku-siku,
dipergunakan konsep Pythagoras. Lalu ditarik kesimpulan untuk kedua hal
tersebut menggunakan konsep yang sama yaitu konsep Pythagoras.
Alamsyah
(Yuliani, 2011) menambahkan bahwa ciri dari analogi meliputi: konklusi analogi
tidak selalu berupa proposisi universal, akan tetapi tergantung dari
subyek-subyek yang diperbandingkan dalam analogi; penalaran analogi ditentukan
oleh sejumlah fakta yang dijadikan dasar dari konklusinya sebagai premis,
artinya jumlah fakta tersebut merupakan faktor probabilitas yang pertama dimana
semakin besar jumlah fakta maka semakin tinggi probabilitasnya dan sebaliknya.
Berdasarkan
beberapa pengertian analogi di atas, dapat ditarik kesimpulan penalaran analogi adalah proses menarik
kesimpulan berdasarkan keserupaan dengan cara membandingkan dua hal yang
berlainan. Kesimpulan yang diperoleh digunakan sebagai penjelas atau sebagai
dasar penalaran.
Kemampuan
siswa dalam membuat kesimpulan dari hasil pengamatan yang terbatas dan
kesimpulan tersebut dapat dipergunakan untuk menyelesaikan masalah tertentu
dinamakan penalaran transduktif. Sedangkan proses penarikan kesimpulan
berdasarkan hasil pengamatan yang terbatas kemudian hasil kesimpulannya dapat
diberlakukan secara umum dinamakan penalaran generalisasi. Hal ini merujuk pada
Sumarmo (2013:22) mengatakan, “Penalaran transduktif adalah proses menarik
kesimpulan dari pengamatan terbatas dan diberlakukan pada kasus tertentu.
Sedangkan penalaran generalisasi yaitu suatu proses menarik kesimpulan secara
umum berdasarkan data yang terbatas”.
Putra
(2013) mengartikan generalisasi sebagai pernyataan yang berlaku umum untuk
semua atau sebagian besar peristiwa. Winkel (Putra, 2013) melakukan
generalisasi dengan menangkap struktur pokok, pola dan prinsip-prinsip umum.
Siswa akan mampu mengadakan generalisasi yaitu menangkap ciri-ciri atau sifat
umum yang terdapat dari sejumlah hal-hal yang khusus, apabila siswa telah
memiliki konsep, kaidah, prinsip dan siasat-siasat dalam menyelesaikan masalah
tersebut.
Berdasarkan
penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa siswa dapat melakukan
generalisasi apabila siswa mampu mengidentifikasi hal-hal penting atau ciri-ciri
dari suatu hal tertentu yang mendukung dalam memudahkan mengambil kesimpulan
secara umum.
B. Komunikasi
Matematik
Kemampuan
komunikasi sangat diperlukan dalam proses pembelajaran karena dengan komunikasi
akan terjadi interaksi timbal balik dan terjadinya transfer informasi.
Kemampuan komunikasi yang baik akan memungkinkan siswa aktif dalam proses
pembelajaran dan memudahkannya dalam memberikan penalaran terhadap informasi
tersebut.
Komunikasi
adalah suatu proses penyampaian informasi atau pesan kepada orang lain dan
sebaliknya sehingga apa yang diungkapkan tersebut dapat dipahami dan dimengerti
dengan baik. Menurut TIM (Elida, 2012) menyatakan bahwa komunikasi adalah
pengiriman dan penerimaan pesan antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang
dimaksud dapat dipahami. Sedangkan Abdulhak (Elida, 2012) berpendapat bahwa komunikasi
dimaknai sebagai proses penyampaian pesan dari pengirim pesan kepada penerima
pesan melalui saluran tertentu untuk tujuan tertentu.
Untuk
menyampaikan gagasan matematika agar dapat diterima diperlukan adanya komunikasi
yang dapat memberikan siswa memiliki kesempatan dan dorongan untuk belajar mendengar
dan berbicara (Auditori), menyimak (Visual), menggunakan penalarannya (Intelektual), dan akhir dapat
diaktualisasikan melalui presentasi (Somatis)
dengan penuh percaya diri (Kemandirian
belajar).
Dalam
mengembangkan kemampuan komunikasi matematik dapat dilakukan dengan cara diskusi
kelompok antar siswa karena dengan diskusi dimungkinkan siswa aktif dalam
mendengarkan dan berbicara (Auditori),
menyimak dan memvisualisasikan hasilnya dalam bentuk lain (Visual), menggunakan penalarannya dalam memecahkan masalah (Intelektual) dan membuat gambar
atau grafik (Somatis) hasil diskusi.
Disamping itu pada diskusi kelompok siswa dapat membangun konsep-konsep
matematika, mengembangkan kemampuan
penalaran dan komunikasi matematik
dengan baik.
Proses
komunikasi dalam pembelajaran matematika akan terjadi apabila ada interaksi
antar siswa. Guru harus merancang pembelajaran yang memungkinkan siswa
berinteraksi satu sama lain. Salah satu hal yang dapat dilakukan guru adalah
memberikan pertanyaan-pertanyaan yang memungkinkan siswa dapat berkomunikasi
dengan baik. Rangkuman pendapat Lacoe
(Mahmudi, 2009: 5), ada beberapa contoh pertanyaan yang dapat digunakan dalam
membantu siswa untuk mengembangkan kemampuan komunikasinya:
1) Membantu siswa bekerja sama agar memiliki sense matematik, yaitu dengan mengajukan
pertanyaan yang diawali dengan kata apakah.
2)
Membantu
siswa menyadari benar tidaknya suatu ide matematika, yaitu dengan mengajukan
pertanyaan yang diawali dengan mengapa, bagaimana, atau dapatkan kamu.
3)
Membantu
siswa mengembangkan penalaran, yaitu dengan mengajukan pertanyaan apakah hal
itu benar, asumsi asumsi apakah.
4) Membantu siswa menghubungkan ide-ide
matematika dan aplikasinya, yaitu dengan mengajukan pertanyaan apakah ada
hubungannya, dapatkah kamu memberikan contoh.
Kemampuan
komunikasi matematik adalah kemampuan menjelaskan idea matematik dengan gambar
atau grafik, menghubungkan gambar, grafik atau situasi ke dalam idea
matematika, menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa matematika, dan
menjelaskan serta membuat pertanyaan tentang matematika. Hal ini sesuai dengan
apa yang disampaikan Eliot dan Kenney, Eds (Sumarmo, 2013) bahwa kemampuan
komunikasi matematika antara lain meliputi proses-proses matematika berikut:
1. Menyatakan suatu situasi atau masalah
matematik atau kehidupan sehari-hari ke dalam bentuk gambar, diagram, bahasa
atau simbol matematik, atau model matematik.
2.
Menjelaskan
suatu idea matematik dengan gambar, ekspresi, atau bahasa sendiri secara lisan
atau tulisan.
3.
Membuat
suat cerita bedasarkan gambar, diagram, atau model matematik yang diberikan.
4. Menyusun pertanyaan tentang konten
matematik yang diberikan.
Sedangkan
NCTM (Wijaya, 2012) merumuskan standar komunikasi (communicatioan Standard) untuk menjamin kegiatan pembelajaran matematika
yang mampu mengembangkan
kemampuan siswa dalam:
1. Menyusun dan memadukan pemikiran
matematika melalui komunikasi.
2.
Mengkomunikasikan
pemikiran matematika secara logis dan sitematis kepada semua siswa, kepada
guru, maupun orang lain.
3.
Menganalisis
dan mengevaluasi perkiran dan strategis matematis orang lain.
4. Menggunakan bahasa matematika untuk
megekspresikan ide matematika secara tepat.
Dalam
penelitian ini aspek kemampuan komunikasi matematik yang digunakan adalah kemampuan
menjelaskan idea matematik dengan gambar atau grafik, menghubungkan gambar,
grafik atau situasi ke dalam idea matematika, menyatakan peristiwa sehari-hari
dalam bahasa matematika dan menjelaskan serta membuat pertanyaan tentang
matematika.
C. Kemandirian
Belajar
Kemandirian
belajar merupakan bagian yang tak terpisahkan dari tujuan pembelajaran
matematika. Siswa yang memiliki kemandirian belajar dengan baik diharapkan mampu
menggunakan penalaran dan komunikasi matematiknya dengan baik pula. Disamping
itu diharapkan siswa mampu untuk menata dirinya dalam belajar, bersikap,
bertingkah laku, dan mengambil keputusan yang sesuai dengan kehendaknya
sendiri. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Steinberg (dikutip Fleming, 2005),
bahwa kemandirian didefinisikan sebagai kemampuan individu dalam bertingkah laku,
merasakan sesuatu, dan mengambil keputusan berdasar kehendaknya sendiri.
Arti kemandirian
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikas, 1988), kemandirian adalah keadaan
dapat berdiri sendiri tanpa berantung pada orang lain. Kurniawati (2010)
berpendapat bahwa kemandirian adalah prilaku siswa dalam mewujudkan kehendak
atau keinginannya secara nyata dengan tidak bergantung pada orang lain, dalam
hal ini siswa mampu melakukan belajar sendiri, dapat menentukan cara belajar
yang efektif, mamun melaksanakan tugas-tugas belajar dengan baik serta mampu
melakukan aktivitas belajar secara mandiri. Namun kemandirian belajar dalam
matematika memiliki makna yang lebih luas. Adanya ineraksi dan kerjasama siswa
sangat diperlukan bagi pengembangan kemandirian belajar siswa.
Kemandirian
belajar bukan berarti belajar sendiri. Seringkali orang menyalahartikan kemandirian
belajar sebagai belajar sendiri, padahal kemandirian belajar mempunyai makna
yang cukup luas. Bandura (Sumarmo, 2013) menyatakan bahwa kemandirian belajar
diartikan sebagai kemampuan memantau prilau sendiri, dan merupakan kerja keras
personaliti manusia dan menyarankan tiga langkah dalam melaksanakan kemandirian
belajar yaitu (1) Mengamati dan mengawasi diri sendiri; (2) Membandingkan
posisi diri dengan standar tertentu; (3) Memberikan respon sendiri baik
terhadap respon positif maupun negatif.
Sumarmo (2013)
menjelaskan bahwa istilah kemandirian belajar berelasi dengan beberapa istilah
lain yaitu antara lain self regulated
learning (SRL), self regulated thinking (SRT), self direkted learning (SDL),
self eficacy, dan self-esteem.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa terdapat tiga langkah utama dalam SRL, yaitu: 1)
merancang belajarnya sendiri sesuai dengan tujuannnya, 2) memilih strategi dan
melaksanakan rancangan belajarnya, dan 3) memantau kemajuan belajarnya sendiri,
mengevaluasi hasil belajarnya dan dibandingkan dengan standar tertentu.
Metode
pengajaran berdasarkan pada prinsip kemandirian akan menjadikan siswa menjadi
individu yang mandiri. Kemandirian yang dimiliki oleh siswa diwujudkan melalui
kemampuannya dalam mengambil keputusan sendiri tanpa pengaruh dari orang lain.
Kemandirian juga terlihat dari berkurangnya ketergantungan siswa terhadap guru
di sekolah seperti, pada jam pelajaran kosong karena ketidakhadiran guru di
kelas, siswa dapat belajar secara mandiri dengan membaca buku atau mengerjakan
latihan soal yang dimiliki.
Siswa
yang mandiri, tidak lagi membutuhkan perintah dari guru atau orang tua untuk
belajar ketika berada di sekolah maupun di rumah. Siswa yang mandiri telah
memiliki nilai-nilai yang dianutnya sendiri dan menganggap bahwa belajar
bukanlah sesuatu yang memberatkan, namun merupakan sesuatu yang telah menjadi
kebutuhan bagi siswa untuk meningkatkan prestasi di sekolah.
Siswa
dapat dikatakan telah memiliki kemandirian belajar dengan baik, apabila telah
memiliki inisiatif dalam belajar, mampu mendiagnosa (memperkirakan) kebutuhan
belajar, mempunyai target atau tujuan belajar yang jelas, memandang setiap
kesulitan sebagai tantangan dalam belajar, mampu memanfaatkan dan mencari
sumber belajar yang relevan, mampu memilih dan menerapkan strategi belajar
dengan baik, selalu megevaluasi proses maupun hasil belajar, dan memiliki
kecakapan konsep diri.
D. Pendekatan
SAVI
Pendekatan
SAVI adalah suatu proses pembelajaran yang terpusat pada siswa disertai gerak
fisik, berbicara, mendengarkan, melihat, mengamati, dan menggunakan kemampuan
intelektual untuk berpikir, menggambarkan, menghubungkan, dan membuat
kesimpulan dengan baik. Pendekatan SAVI ini
diharapkan mampu mengatasi
masalah-masalah terutama berkenaan dengan kemampuan penalaran dan
komunikasi matematik serta diharapkan dapat menumbuhkan kemandirian belajar siswa
SMP.
Hernowo
(2004: 13-14) mengatakan bahwa SAVI ini adalah merupakan metode belajar yang
jika diterapkan secara serempak akan memfungsikan seluruh indera dan otak. Suherman (2008: 7) menambahkan bahwa
pembelajaran SAVI adalah pembelajaran yang menekankan bahwa
belajar haruslah memanfaatkan semua alat indera yang dimiliki siswa.
Pendekatan
SAVI bisa juga diartikan sebagai metode pembelajaran yang melibatkan seluruh
anggota tubuh dari gerakan tubuh, pendengaran, kemampuan membayangkan, dan
mampu bersifat cendikia atau berkait dengan kemampuan merenungkan, merumuskan,
dan mengait-ngaitkan dengan memfungsikan
pikiran secara baik dan benar.
Meier
(2002) berpendapat bahwa pembelajaran tidak otomatis meningkat dengan menyuruh
orang berdiri dan bergerak kesana kemari. Akan tetapi, menggabungkan gerakan
fisik dengan aktivitas intelektual dan pengunaan semua indera dapat berpengaruh besar pada pembelajaran. Saya
namakan ini belajar SAVI. Berikut merupakan penjelasan unsur-unsur dari
pendekatan SAVI yang merupakan rangkuman dari Meier (2002), yaitu:
1) Somatis.
Somatis dalam proses
pembelajaran yaitu siswa belajar untuk berbuat dan bertindak sesuai dengan
kebutuhan dengan indera peraba, kinestetis, praktis melibatkan fisik dan
menggunakannya serta menggerakan tubuh sewaktu belajar. Menurut penelitian
neurologis, tubuh dan pikiran bukan merupakan dua entitas yang terpisah. Temuan
mereka menunjukkan bahwa pikiran tersebar di seluruh tubuh. Maksudnya tubuh
adalah pikiran dan pikiran adalah tubuh. Keduanya merupakan satu sistem
elektris kimiawi-biologis yang benar-benar terpadu. Menghalangi fungsi tubuh
dalam proses belajar berarti dapat menghalangi fungsi pikiran sepenuhnya. Oleh
karena itu, untuk merangsang hubungan pikiran tubuh, harus diciptakan suasana
belajar yang dapat membuat orang bangkit dan berdiri dari tempat duduk dan
aktif secara fisik dari waktu ke waktu.
Ada
beberapa cara yang dapat digunakan untuk megoptimalkan unsur somatis dalam
belajar matematika yaitu:
a. Membuat
model, gambar, atau grafik dalam suatu proses.
b. Melengkapi
tabel, gambar diagram, atau grafik.
c. Menggerakkan
berbagai komponan tubuh secara benar yang mendukung proses pembelajaran.
d. Memperagakan
atau melakukan presentasi di depan kelas.
e. Melakukan
bergantian peran dalam suatu kelompok diskusi.
2) Auditori.
Auditori
dalam proses pembelajaran yaitu siswa belajar dengan melibatkan kemampuan
pendengaran dan kemampuan dalam berbicara. Ketika telingan menangkap dan
menyimpan informasi, beberapa area penting di otak menjadi aktif. Dalam
merancang pembelajaran matematika yang menarik bagi saluran pendengaran, siswa
melakukan tindakan seperti membicarakan materi apa yang sedang dipelajari. Setelah
itu, siswa diharapkan mampu mengungkapkan pendapatnya sendiri baik saat diskusi maupun presentasi di
depan kelas.
Beberapa
kegiatan Auditori dalam suatu pembelajaran matematika antara lain:
a. Membicarakan,
mengkomunikasikan, apa yang sedang dipelajari dengan baik dan upaya bagaimana
menerapkannya.
b. Meminta
siswa lain memperagakan sesuatu dan menjelaskan apa yang sedang dilakukannya.
c. Mendegarkan
materi yang disampaikan dan merangkum apa yang didengarnya.
3) Visual.
Visual
dalam proses pembelajaran adalah siswa belajar mengamati dan menggambarkan
kembali hasil pengatamatan dengan melibatkan kemampuan pengelihatan. Alasan adalah bahwa di dalam
otak terdapat lebih banyak perangkat memproses informasi pengelihatan daripada
indera yang lain. Dalam merancang pembelajaran yang menarik bagi kemampuan
visual, seoarng guru dapat melakukan
tindakan seperti meminta
siswa menerangkan kembali materi yang sudah diajarakan, menggambarkan proses, prinsip, atau makna yang
dicontohkannya.
Beberapa
proses belajar visual yang dapat diterapkan dalam pembelajaran matematika
antara lain:
a. Mengamati
model, gambar, atau grafik kemudian memaknainya melalui penyelesaian tabel
pengamatan pada lembar kerja siswa.
b. Memvisualisasikan
hasil pengamatan ke dalam model, gambar, atau grafik.
4) Intelektual : belajar
untuk meningkatkan kemampuan berpikir dengan memecahkan masalah.
Intelektual
dalam proses pembelajaran adalah siswa belajar untuk meningkatkan kemampuan
berpikir dengan memecahkan masalah. Belajar intelektual berarti menunjukkan apa
yang dilakukan siswa dalam pikiran mereka secara internal ketika mereka
menggunakan kecerdasan untuk merenungkan suatu pengalaman dan menciptakan
hubungan makna, rencana, dan nilai dari pangalaman tersebut. Belajar
intelektual adalah bagian untuk merenung, mencipta, memecahkan masalah dan
membangun makna. dalam membangun proses belajar intelektual, siswa diminta
mengerjakan soal-soal dari materi yang sudah diajarkan dan dijelaskan oleh
guru. Meier (2002: 99) menambahkan bahwa intelektual adalah pencipta makna
dalam pikiran; sarana yang digunakan manusia untuk “berpikir”, menyatukan
pengalaman, menciptakan jaringan saraf baru, dan belajar.
Beberapa
kegiatan yang dapat dilakukan dalam belajar intelektul adalah:
a. Memecahkan
masalah misalnya memecahkan masalah atau soal-soal yang ada pada lembar kerja
siswa (LKS).
b. Menganalisa
pengalaman atau suatu kasus.
c. Menciptakan
makna pribadi misalkan penarik suatu kesimpulan.
d. Meramalkan
implikasi suatu gagasan atau idea
Keempat
unsur SAVI yaitu Somatis, Auditori,
Visual, dan Intelektual harus dipadukan agar memberikan pengaruh yang besar
bagi peningkatan kemampuan penalaran dan komunikasi matematik serta kemandirian
belajar siswa SMP.
E. Penelitian
yang relevan
Beberapa
penelitian terdahulu yang relevan dengan tema yang peneliti lakukan diantaranya
Yuniarti (2007) mengemukakan bahwa ada peningkatan kemampuan penalaran
matematis yang lebih baik terhadap siswa yang menggunakan pembelajaran inkuiri
dibandingkan dengan siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. Emay
(2011) menyimpulkan bahwa kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa
peningkatannya lebih baik bila menggunakan pembelajaran kooperatif formulate-share-listen-create (FSCL). Aden
(2011) melaporkan bahwa peningkatan kemampuan penalaran dan komunikasi
matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model Think-Pair-Share (TPS) berbantuan Geometer’s Sketchpad lebih baik daripada siswa yang menggunakan
pembelajaran konvensional.
Selanjutnya
Tandiling (2011) menyimpulkan bahwa pencapaian kemampuan komunikasi matematis
siswa yang mendapatkan Strategi PQ4R
dan bacaan Refutation Text (SPRT)
lebih baik dari siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. Disebutkan pula
bahwa antara kemampuan komunikasi matematis dengan kemandirian belajar terdapat
asosiasi yang berada pada taraf sedang. Warsa (2012) menjelaskan bahwa
peningkatan kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa lebih baik pada
siswa yang mendapatkan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw dengan
pendekatan kontekstual berbasis karakter, dibandingkan dengan siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional.
Berikutnya
Offirstson (2012) mengemukakan bahwa pencapaian dan peningkatan kemampuan
penalaran matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan inkuiri
berbantuan sofware Cinderlla secara
sinifikan lebih baik daripada siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional.
Harry (2013) mengatakan bahwa pembelajaran matematika dengan pendekatan SAVI berbantuan
Wingeom mampu meningkatkan kemampuan
generalisasi matematis dan menumbuhkan sikap yang positif bagi siswa dalam pembelajaran
matematika. Rohmah (2013) yang melaporkan bahwa peningkatan kemampuan penalaran
dan komunikasi matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan Brainstorming teknik Round-Robin lebih baik dari siswa yang
meggunakan pembelajaran konvensional.
F. Hipotesis
Berdasarkan
uraian di atas maka hipotesis yang diambil adalah:
1.
Kemampuan penalaran matematik
siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan SAVI lebih baik dibandingkan
dengan siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional.
2.
Kemampuan komunikasi
matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan SAVI lebih baik dibandingkan
dengan siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional.
3.
Kemandirian
belajar siswa yang menggunakan pendekatan SAVI lebih baik daripada siswa yang
menggunakan pembelajaran konvensional.
4.
Terdapat
assosiasi antara kemampuan penalaran dan komunikasi matematik siswa yang
pembelajarannya menggunakan Pendekatan SAVI.
5.
Terdapat
asosiasi antara kemampuan penalaran matematik dan kemandirian belajar siswa
yang pembelajarannya menggunakan Pendekatan SAVI.
6.
Terdapat
asosiasi antara kemampuan komunikasi matematik dan kemandirian belajar siswa
yang pembelajarannya menggunakan Pendekatan SAVI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar