Senin, 16 September 2019

BAB II PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN SAVI UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIK SERTA KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP

PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN SAVI UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIK
 SERTA KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP
                                                                 

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Persyaratan
Menempuh Gelar Magister Pendidikan Matematika




Oleh:
HAERUDIN
Nim. 12102028


PROGRAM STUDI MAGISTER (S2)
PENDIDIKAN MATEMATIKA
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP) SILIWANGI BANDUNG
2014

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A.  Penalaran Matematik
Penalaran adalah proses atau aktivitas berfikir dalam menarik kesimpulan atau membuat pernyataan baru yang benar berdasarkan pada pernyataan yang telah dibuktikan kebenaranya. Keraf (Sumarmo, 2012: 16) mendefiisikan istilah penalaran serupa dengan penalaran proporsional atau penalaran logis dalam tes. Sedangkan Lengeot (Sumarmo, 2012: 16) berpendapat bahwa penalaran sebagai proses berpikir yang memuat kegiatan menarik kesimpulan berdasarkan data dan peristiwa yang ada. Hal senada juga diungkapkan Shurter dan Pierce (Sumarmo, 2012: 16) yang telah mendefinisikan penalaran sebagai proses memperoleh kesimpulan logis berdasarkan data dan sumber yang relevan. Sumarmo (2013 148) menegaskan pula bahwa penalaran merupakan proses berpikir dalam proses penarikan kesimpulan.
Sumarmo (2013) mengatakan bahwa penalaran merupakan proses berpikir menarik kesimpulan. Kemampuan penalaran berlangsung ketika seorang berpikir tentang suatu masalah atau menyelesaikan masalah. Ini dapat ditafsirkan bahwa saat seorang siswa merenung (intelektual) tentang suatu hal atau masalah dalam matematika kemudian dia berpikir untuk mencari solusinya maka sesungguhnya telah terjadi proses bernalar.
Secara garis besar terdapat dua jenis penalaran yaitu penalaran induktif yang juga dikenal dengan induksi dan penalaran deduktif yang juga bisa disebut deduksi. Sumarmo (2013: 148) mengatakan bahwa penarikan kesimpulan yang berdasarkan sejumlah kasus atau contoh terbatas disebut induksi. Sedangkan penarikan kesimpulan berdasarkan aturan yang disepakati dinamakan deduksi.
Sumarmo (2013: 148) menjelaskan pula bahwa  penalaran induktif adalah penalaran yang berdasarkan contoh-contoh terbatas yang teramati. Beberapa penalaran induktif diantaranya: penalaran analogi, generalisasi, estimasi atau memperkirakan jawaban dan proses solusi, dan menyusun konjektur. Penalaran induktif di atas dapat digolongkan pada berpikir matematik tingkat rendah atau tingkat tinggi tergantung pada kekomplekan situasi yang terlibat.
Sedangkan penalaran deduktif adalah penalaran yang didasarkan pada aturan yang disepakati. Beberapa penalaran yang tergolong deduktif diantaranya: melakukan operasi hitung, menarik kesimpulan logis, memberi penjelasan terhadap model, fakta, sifat, hbungan atau pola, mengajukan lawan contoh, mengikuti aturan inferensi, memeriksa validitas argumen, membuktikan, dan menyusun argumen yang valid, merumuskan definisi dan menyusun pembuktian langsung, pembuktian tak lansung dan pembuktian dengan induksi matematika.
Penalaran induktif melibatkan persepsi tentang keteraturan. Dalam matematika, mendapatkan kesamaan tersebut dapat menjadi dasar dalam rangka pembentukan konsep, yaitu dengan cara mengurangi hal-hal yang harus diingat. Proses tersebut dinamakan abstraksi konsep.
Priatna (Yuliani, 2011) mengungkapkan bahwa penalaran induktif memainkan peran penting dalam pengembangan dan penerapan matematika. Sebagai fakta, penemuan matematika ada yang berawal dari suatu penarikan kesimpulan dengan menerapkan panalaran induktif. Kesimpulan yang ditarik secara induktif tidak selalu dapat dibuktikan secara deduktif. Kesimpulan demikian dinamakan suatu konjektur. Konjektur adalah suatu tebakan, penyimpulan, teori, atau dugaan yang didasarkan pada fakta yang tak tertentu atau tak lengkap.
Analogi dapat diartikan membandingkan sesuatu dengan sesuatu lainnya. Penalaran analogi bermakna proses penarikan kesimpulan dengan membandingkan dua hal yang berbeda berdasarkan keserupaan sifat atau konsep yang ada. Hal ini diperkuat Shurter dan pierce (Sumarmo, 1987) mendefinisikan bahwa analogi adalah penalaran yang dari satu hal tertentu terhadap sat hal lain yang serupa kemudian menyimpulkan apa yang benar untuk satu hal juga dan akan benar untuk hal lain.
 Yuliani (2011) mengemukakan bahwa penalaran analogi adalah kita menarik kesimpulan tentang suatu hal berdasarkan kesamaan yang ada dalam pengetahuan dan pemahaman kita. Hal senada diungkapkan Alamsyah (Yuliani, 2011) bahwa pada analogi terdapat dua hal yang berlainan, yang satu bukan yang lain, dan dua hal yang berlainan itu dibandingkan yang satu dengan yang lain.
Sifat atau konsep yang serupa pada penalaran analogi dapat berupa penggunaan rumus atau cara yang sama untuk dua hal yang berbeda. Sebagai contoh bila kita ingin menghitung panjang garis singgung luar lingkaran terhadap dua lingkaran dapat dipergunakan konsep  Pythagoras. Begitu pula ketika hendak menghitung panjang satu sisi segitiga siku-siku, dipergunakan konsep Pythagoras. Lalu ditarik kesimpulan untuk kedua hal tersebut menggunakan konsep yang sama yaitu konsep Pythagoras.
Alamsyah (Yuliani, 2011) menambahkan bahwa ciri dari analogi meliputi: konklusi analogi tidak selalu berupa proposisi universal, akan tetapi tergantung dari subyek-subyek yang diperbandingkan dalam analogi; penalaran analogi ditentukan oleh sejumlah fakta yang dijadikan dasar dari konklusinya sebagai premis, artinya jumlah fakta tersebut merupakan faktor probabilitas yang pertama dimana semakin besar jumlah fakta maka semakin tinggi probabilitasnya dan sebaliknya.  
Berdasarkan beberapa pengertian analogi di atas, dapat ditarik kesimpulan penalaran analogi adalah proses menarik kesimpulan berdasarkan keserupaan dengan cara membandingkan dua hal yang berlainan. Kesimpulan yang diperoleh digunakan sebagai penjelas atau sebagai dasar penalaran.
Kemampuan siswa dalam membuat kesimpulan dari hasil pengamatan yang terbatas dan kesimpulan tersebut dapat dipergunakan untuk menyelesaikan masalah tertentu dinamakan penalaran transduktif. Sedangkan proses penarikan kesimpulan berdasarkan hasil pengamatan yang terbatas kemudian hasil kesimpulannya dapat diberlakukan secara umum dinamakan penalaran generalisasi. Hal ini merujuk pada Sumarmo (2013:22) mengatakan, “Penalaran transduktif adalah proses menarik kesimpulan dari pengamatan terbatas dan diberlakukan pada kasus tertentu. Sedangkan penalaran generalisasi yaitu suatu proses menarik kesimpulan secara umum  berdasarkan data yang terbatas”.

Putra (2013) mengartikan generalisasi sebagai pernyataan yang berlaku umum untuk semua atau sebagian besar peristiwa. Winkel (Putra, 2013) melakukan generalisasi dengan menangkap struktur pokok, pola dan prinsip-prinsip umum. Siswa akan mampu mengadakan generalisasi yaitu menangkap ciri-ciri atau sifat umum yang terdapat dari sejumlah hal-hal yang khusus, apabila siswa telah memiliki konsep, kaidah, prinsip dan siasat-siasat dalam menyelesaikan masalah tersebut.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa siswa dapat melakukan generalisasi apabila siswa mampu mengidentifikasi hal-hal penting atau ciri-ciri dari suatu hal tertentu yang mendukung dalam memudahkan mengambil kesimpulan secara umum.

B.  Komunikasi Matematik
Kemampuan komunikasi sangat diperlukan dalam proses pembelajaran karena dengan komunikasi akan terjadi interaksi timbal balik dan terjadinya transfer informasi. Kemampuan komunikasi yang baik akan memungkinkan siswa aktif dalam proses pembelajaran dan memudahkannya dalam memberikan penalaran terhadap informasi tersebut.
Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi atau pesan kepada orang lain dan sebaliknya sehingga apa yang diungkapkan tersebut dapat dipahami dan dimengerti dengan baik. Menurut TIM (Elida, 2012) menyatakan bahwa komunikasi adalah pengiriman dan penerimaan pesan antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Sedangkan Abdulhak (Elida, 2012) berpendapat bahwa komunikasi dimaknai sebagai proses penyampaian pesan dari pengirim pesan kepada penerima pesan melalui saluran tertentu untuk tujuan tertentu.
Untuk menyampaikan gagasan matematika agar dapat diterima diperlukan adanya komunikasi yang dapat memberikan siswa memiliki kesempatan dan dorongan untuk belajar mendengar dan berbicara (Auditori), menyimak (Visual), menggunakan penalarannya (Intelektual), dan akhir dapat diaktualisasikan melalui presentasi (Somatis) dengan penuh percaya diri (Kemandirian belajar).
Dalam mengembangkan kemampuan komunikasi matematik dapat dilakukan dengan cara diskusi kelompok antar siswa karena dengan diskusi dimungkinkan siswa aktif dalam mendengarkan dan berbicara (Auditori), menyimak dan memvisualisasikan hasilnya dalam bentuk lain (Visual), menggunakan penalarannya dalam memecahkan masalah (Intelektual) dan membuat gambar atau grafik (Somatis) hasil diskusi. Disamping itu pada diskusi kelompok siswa dapat membangun konsep-konsep matematika,  mengembangkan kemampuan penalaran  dan komunikasi matematik dengan baik.
Proses komunikasi dalam pembelajaran matematika akan terjadi apabila ada interaksi antar siswa. Guru harus merancang pembelajaran yang memungkinkan siswa berinteraksi satu sama lain. Salah satu hal yang dapat dilakukan guru adalah memberikan pertanyaan-pertanyaan yang memungkinkan siswa dapat berkomunikasi dengan baik. Rangkuman pendapat  Lacoe (Mahmudi, 2009: 5), ada beberapa contoh pertanyaan yang dapat digunakan dalam membantu siswa untuk mengembangkan kemampuan komunikasinya:
1)      Membantu siswa bekerja sama agar memiliki sense matematik, yaitu dengan mengajukan pertanyaan yang diawali dengan kata apakah.
2)      Membantu siswa menyadari benar tidaknya suatu ide matematika, yaitu dengan mengajukan pertanyaan yang diawali dengan mengapa, bagaimana, atau dapatkan kamu.
3)      Membantu siswa mengembangkan penalaran, yaitu dengan mengajukan pertanyaan apakah hal itu benar, asumsi asumsi apakah.
4)      Membantu siswa menghubungkan ide-ide matematika dan aplikasinya, yaitu dengan mengajukan pertanyaan apakah ada hubungannya, dapatkah kamu memberikan contoh.
Kemampuan komunikasi matematik adalah kemampuan menjelaskan idea matematik dengan gambar atau grafik, menghubungkan gambar, grafik atau situasi ke dalam idea matematika, menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa matematika, dan menjelaskan serta membuat pertanyaan tentang matematika. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan Eliot dan Kenney, Eds (Sumarmo, 2013) bahwa kemampuan komunikasi matematika antara lain meliputi proses-proses matematika berikut:
1.      Menyatakan suatu situasi atau masalah matematik atau kehidupan sehari-hari ke dalam bentuk gambar, diagram, bahasa atau simbol matematik, atau model matematik.
2.      Menjelaskan suatu idea matematik dengan gambar, ekspresi, atau bahasa sendiri secara lisan atau tulisan.
3.      Membuat suat cerita bedasarkan gambar, diagram, atau model matematik yang diberikan.
4.      Menyusun pertanyaan tentang konten matematik yang diberikan.
Sedangkan NCTM (Wijaya, 2012) merumuskan standar komunikasi (communicatioan Standard) untuk menjamin kegiatan  pembelajaran matematika
yang mampu mengembangkan kemampuan siswa dalam:
1.      Menyusun dan memadukan pemikiran matematika melalui komunikasi.
2.      Mengkomunikasikan pemikiran matematika secara logis dan sitematis kepada semua siswa, kepada guru, maupun orang lain.
3.      Menganalisis dan mengevaluasi perkiran dan strategis matematis orang lain.
4.      Menggunakan bahasa matematika untuk megekspresikan ide matematika secara tepat.
Dalam penelitian ini aspek kemampuan komunikasi matematik yang digunakan adalah kemampuan menjelaskan idea matematik dengan gambar atau grafik, menghubungkan gambar, grafik atau situasi ke dalam idea matematika, menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa matematika dan menjelaskan serta membuat pertanyaan tentang matematika.

C.  Kemandirian Belajar
Kemandirian belajar merupakan bagian yang tak terpisahkan dari tujuan pembelajaran matematika. Siswa yang memiliki kemandirian belajar dengan baik diharapkan mampu menggunakan penalaran dan komunikasi matematiknya dengan baik pula. Disamping itu diharapkan siswa mampu untuk menata dirinya dalam belajar, bersikap, bertingkah laku, dan mengambil keputusan yang sesuai dengan kehendaknya sendiri. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Steinberg (dikutip Fleming, 2005), bahwa kemandirian didefinisikan sebagai kemampuan individu dalam bertingkah laku, merasakan sesuatu, dan mengambil keputusan berdasar kehendaknya sendiri.
Arti kemandirian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikas, 1988), kemandirian adalah keadaan dapat berdiri sendiri tanpa berantung pada orang lain. Kurniawati (2010) berpendapat bahwa kemandirian adalah prilaku siswa dalam mewujudkan kehendak atau keinginannya secara nyata dengan tidak bergantung pada orang lain, dalam hal ini siswa mampu melakukan belajar sendiri, dapat menentukan cara belajar yang efektif, mamun melaksanakan tugas-tugas belajar dengan baik serta mampu melakukan aktivitas belajar secara mandiri. Namun kemandirian belajar dalam matematika memiliki makna yang lebih luas. Adanya ineraksi dan kerjasama siswa sangat diperlukan bagi pengembangan kemandirian belajar siswa.
Kemandirian belajar bukan berarti belajar sendiri. Seringkali orang menyalahartikan kemandirian belajar sebagai belajar sendiri, padahal kemandirian belajar mempunyai makna yang cukup luas. Bandura (Sumarmo, 2013) menyatakan bahwa kemandirian belajar diartikan sebagai kemampuan memantau prilau sendiri, dan merupakan kerja keras personaliti manusia dan menyarankan tiga langkah dalam melaksanakan kemandirian belajar yaitu (1) Mengamati dan mengawasi diri sendiri; (2) Membandingkan posisi diri dengan standar tertentu; (3) Memberikan respon sendiri baik terhadap respon positif maupun negatif.
Sumarmo (2013) menjelaskan bahwa istilah kemandirian belajar berelasi dengan beberapa istilah lain yaitu antara lain self regulated learning (SRL), self regulated thinking (SRT), self direkted learning (SDL), self eficacy, dan self-esteem. Lebih lanjut dijelaskan bahwa terdapat tiga langkah utama dalam SRL, yaitu: 1) merancang belajarnya sendiri sesuai dengan tujuannnya, 2) memilih strategi dan melaksanakan rancangan belajarnya, dan 3) memantau kemajuan belajarnya sendiri, mengevaluasi hasil belajarnya dan dibandingkan dengan standar tertentu.
Metode pengajaran berdasarkan pada prinsip kemandirian akan menjadikan siswa menjadi individu yang mandiri. Kemandirian yang dimiliki oleh siswa diwujudkan melalui kemampuannya dalam mengambil keputusan sendiri tanpa pengaruh dari orang lain. Kemandirian juga terlihat dari berkurangnya ketergantungan siswa terhadap guru di sekolah seperti, pada jam pelajaran kosong karena ketidakhadiran guru di kelas, siswa dapat belajar secara mandiri dengan membaca buku atau mengerjakan latihan soal yang dimiliki.
Siswa yang mandiri, tidak lagi membutuhkan perintah dari guru atau orang tua untuk belajar ketika berada di sekolah maupun di rumah. Siswa yang mandiri telah memiliki nilai-nilai yang dianutnya sendiri dan menganggap bahwa belajar bukanlah sesuatu yang memberatkan, namun merupakan sesuatu yang telah menjadi kebutuhan bagi siswa untuk meningkatkan prestasi di sekolah.
Siswa dapat dikatakan telah memiliki kemandirian belajar dengan baik, apabila telah memiliki inisiatif dalam belajar, mampu mendiagnosa (memperkirakan) kebutuhan belajar, mempunyai target atau tujuan belajar yang jelas, memandang setiap kesulitan sebagai tantangan dalam belajar, mampu memanfaatkan dan mencari sumber belajar yang relevan, mampu memilih dan menerapkan strategi belajar dengan baik, selalu megevaluasi proses maupun hasil belajar, dan memiliki kecakapan konsep diri.

D.  Pendekatan SAVI
Pendekatan SAVI adalah suatu proses pembelajaran yang terpusat pada siswa disertai gerak fisik, berbicara, mendengarkan, melihat, mengamati, dan menggunakan kemampuan intelektual untuk berpikir, menggambarkan, menghubungkan, dan membuat kesimpulan dengan  baik. Pendekatan SAVI   ini  diharapkan   mampu  mengatasi  masalah-masalah terutama berkenaan dengan kemampuan penalaran dan komunikasi matematik serta diharapkan dapat menumbuhkan kemandirian belajar siswa SMP.
Hernowo (2004: 13-14) mengatakan bahwa SAVI ini adalah merupakan metode belajar yang jika diterapkan secara serempak akan memfungsikan seluruh indera dan otak.   Suherman (2008: 7) menambahkan bahwa pembelajaran  SAVI  adalah pembelajaran yang menekankan bahwa belajar haruslah memanfaatkan semua alat indera yang dimiliki siswa.
Pendekatan SAVI bisa juga diartikan sebagai metode pembelajaran yang melibatkan seluruh anggota tubuh dari gerakan tubuh, pendengaran, kemampuan membayangkan, dan mampu bersifat cendikia atau berkait dengan kemampuan merenungkan, merumuskan, dan mengait-ngaitkan  dengan memfungsikan pikiran secara baik dan benar.
Meier (2002) berpendapat bahwa pembelajaran tidak otomatis meningkat dengan menyuruh orang berdiri dan bergerak kesana kemari. Akan tetapi, menggabungkan gerakan fisik dengan aktivitas intelektual dan pengunaan semua indera  dapat berpengaruh besar pada pembelajaran. Saya namakan ini belajar SAVI. Berikut merupakan penjelasan unsur-unsur dari pendekatan SAVI yang merupakan rangkuman dari Meier (2002), yaitu:
1)      Somatis.
Somatis dalam proses pembelajaran yaitu siswa belajar untuk berbuat dan bertindak sesuai dengan kebutuhan dengan indera peraba, kinestetis, praktis melibatkan fisik dan menggunakannya serta menggerakan tubuh sewaktu belajar. Menurut penelitian neurologis, tubuh dan pikiran bukan merupakan dua entitas yang terpisah. Temuan mereka menunjukkan bahwa pikiran tersebar di seluruh tubuh. Maksudnya tubuh adalah pikiran dan pikiran adalah tubuh. Keduanya merupakan satu sistem elektris kimiawi-biologis yang benar-benar terpadu. Menghalangi fungsi tubuh dalam proses belajar berarti dapat menghalangi fungsi pikiran sepenuhnya. Oleh karena itu, untuk merangsang hubungan pikiran tubuh, harus diciptakan suasana belajar yang dapat membuat orang bangkit dan berdiri dari tempat duduk dan aktif secara fisik dari waktu ke waktu.
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk megoptimalkan unsur somatis dalam belajar matematika yaitu:
a.       Membuat model, gambar, atau grafik dalam suatu proses.
b.      Melengkapi tabel, gambar diagram, atau grafik.
c.       Menggerakkan berbagai komponan tubuh secara benar yang mendukung proses pembelajaran.
d.      Memperagakan atau melakukan presentasi di depan kelas.
e.       Melakukan bergantian peran dalam suatu kelompok diskusi.
2)      Auditori.
Auditori dalam proses pembelajaran yaitu siswa belajar dengan melibatkan kemampuan pendengaran dan kemampuan dalam berbicara. Ketika telingan menangkap dan menyimpan informasi, beberapa area penting di otak menjadi aktif. Dalam merancang pembelajaran matematika yang menarik bagi saluran pendengaran, siswa melakukan tindakan seperti membicarakan materi apa yang sedang dipelajari. Setelah itu, siswa diharapkan mampu mengungkapkan pendapatnya    sendiri baik saat diskusi maupun presentasi di depan kelas.
Beberapa kegiatan Auditori dalam suatu pembelajaran matematika antara lain:
a.       Membicarakan, mengkomunikasikan, apa yang sedang dipelajari dengan baik dan upaya bagaimana menerapkannya.
b.      Meminta siswa lain memperagakan sesuatu dan menjelaskan apa yang sedang dilakukannya.
c.       Mendegarkan materi yang disampaikan dan merangkum apa yang didengarnya.
3)      Visual.
Visual dalam proses pembelajaran adalah siswa belajar mengamati dan menggambarkan kembali hasil pengatamatan dengan melibatkan kemampuan  pengelihatan. Alasan adalah bahwa di dalam otak terdapat lebih banyak perangkat memproses informasi pengelihatan daripada indera yang lain. Dalam merancang pembelajaran yang menarik bagi kemampuan visual, seoarng guru dapat melakukan   tindakan   seperti  meminta  siswa menerangkan  kembali  materi  yang  sudah  diajarakan,  menggambarkan proses, prinsip, atau makna yang dicontohkannya.
Beberapa proses belajar visual yang dapat diterapkan dalam pembelajaran matematika antara lain:
a.       Mengamati model, gambar, atau grafik kemudian memaknainya melalui penyelesaian tabel pengamatan pada lembar kerja siswa.
b.      Memvisualisasikan hasil pengamatan ke dalam model, gambar, atau grafik.
4)   Intelektual     : belajar untuk meningkatkan kemampuan berpikir dengan memecahkan masalah.
Intelektual dalam proses pembelajaran adalah siswa belajar untuk meningkatkan kemampuan berpikir dengan memecahkan masalah. Belajar intelektual berarti menunjukkan apa yang dilakukan siswa dalam pikiran mereka secara internal ketika mereka menggunakan kecerdasan untuk merenungkan suatu pengalaman dan menciptakan hubungan makna, rencana, dan nilai dari pangalaman tersebut. Belajar intelektual adalah bagian untuk merenung, mencipta, memecahkan masalah dan membangun makna. dalam membangun proses belajar intelektual, siswa diminta mengerjakan soal-soal dari materi yang sudah diajarkan dan dijelaskan oleh guru. Meier (2002: 99) menambahkan bahwa intelektual adalah pencipta makna dalam pikiran; sarana yang digunakan manusia untuk “berpikir”, menyatukan pengalaman, menciptakan jaringan saraf baru, dan belajar.
Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan dalam belajar intelektul adalah:
a.       Memecahkan masalah misalnya memecahkan masalah atau soal-soal yang ada pada lembar kerja siswa (LKS).
b.      Menganalisa pengalaman atau suatu kasus.
c.       Menciptakan makna pribadi misalkan penarik suatu kesimpulan.
d.      Meramalkan implikasi suatu gagasan atau idea
Keempat unsur  SAVI yaitu Somatis, Auditori, Visual, dan Intelektual harus dipadukan agar memberikan pengaruh yang besar bagi peningkatan kemampuan penalaran dan komunikasi matematik serta kemandirian belajar  siswa SMP.
E.   Penelitian yang relevan
Beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan tema yang peneliti lakukan diantaranya Yuniarti (2007) mengemukakan bahwa ada peningkatan kemampuan penalaran matematis yang lebih baik terhadap siswa yang menggunakan pembelajaran inkuiri dibandingkan dengan siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. Emay (2011) menyimpulkan bahwa kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa peningkatannya lebih baik bila menggunakan pembelajaran kooperatif formulate-share-listen-create (FSCL). Aden (2011) melaporkan bahwa peningkatan kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model Think-Pair-Share (TPS) berbantuan Geometer’s Sketchpad lebih baik daripada siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional.
Selanjutnya Tandiling (2011) menyimpulkan bahwa pencapaian kemampuan komunikasi matematis siswa yang mendapatkan Strategi PQ4R dan bacaan Refutation Text (SPRT) lebih baik dari siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. Disebutkan pula bahwa antara kemampuan komunikasi matematis dengan kemandirian belajar terdapat asosiasi yang berada pada taraf sedang. Warsa (2012) menjelaskan bahwa peningkatan kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa lebih baik pada siswa yang mendapatkan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw dengan pendekatan kontekstual berbasis karakter, dibandingkan dengan siswa  yang menggunakan pembelajaran konvensional.
Berikutnya Offirstson (2012) mengemukakan bahwa pencapaian dan peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan inkuiri berbantuan sofware Cinderlla secara sinifikan lebih baik daripada siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. Harry (2013) mengatakan bahwa pembelajaran matematika dengan pendekatan SAVI berbantuan Wingeom mampu meningkatkan kemampuan generalisasi matematis dan menumbuhkan sikap yang positif bagi siswa dalam pembelajaran matematika. Rohmah (2013) yang melaporkan bahwa peningkatan kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan Brainstorming teknik Round-Robin lebih baik dari siswa yang meggunakan pembelajaran konvensional.

F.   Hipotesis
Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis yang diambil adalah:
1.      Kemampuan penalaran matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan SAVI lebih baik dibandingkan dengan siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional.
2.      Kemampuan komunikasi matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan SAVI lebih baik dibandingkan dengan siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional.
3.      Kemandirian belajar siswa yang menggunakan pendekatan SAVI lebih baik daripada siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional.
4.      Terdapat assosiasi antara kemampuan penalaran dan komunikasi matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan Pendekatan SAVI.
5.      Terdapat asosiasi antara kemampuan penalaran matematik dan kemandirian belajar siswa yang pembelajarannya menggunakan Pendekatan SAVI.
6.      Terdapat asosiasi antara kemampuan komunikasi matematik dan kemandirian belajar siswa yang pembelajarannya menggunakan Pendekatan SAVI











Tidak ada komentar:

Posting Komentar